AHLAN WA SAHLAN..... WELCOME.... SELAMAT DATANG...

Bagi para blogger selamat berbagi pengalaman, antara kita memang berbeda, tapi tidak mustahil kalau terkadang fikiran kita sama dan searah... meski raga kita terpisah jauh... apakah fikiran dan tujuan kita juga jauh... tentu tidak... di sinilah aku berusaha untuk berbagi dalam cinta dan kasih... Cinta dapat membuat kita hidup bahkan sebaliknya... namun semua itu ada pada diri kita.. bagaimana menyikapi masalah tersebut...
ingin hidup dengan cinta atau tidak sama sekali tapi jangan pernah sekali-kali mati dengan atau karena cinta... kecuali cinta kepada Nya... selamat menuai Cinta.. karena cinta bagian dari kita... Semangat dan Salam Cinta.. untuk sang pengembara yang selalu berusaha...

Minggu, 16 Januari 2011

Air Mata Ibu

Ibu menangis. Air mata mengucur di pipinya yang cekung. Ketika itu aku

baru selesai berdzikir setelah mengimaminya. Tasbih ditangannya terus

berputar, bersama dzikir yang terus terlantun dari bibirnya. Ibu khusyuk

dalam isak dan deraian air mata. "Kenapa Ibu menangis?" pertanyaan itu terpaksa kusimpan. Aku tidak akan mengganggu Ibu yang masih khusyuk dengan dzikir. Aku memikirkan berbagai kemungkinan penyebab menangisnya Ibu. Mungkinkah kematian Bapak? Tapi, bukankah kematian Bapak sudah lama sekali? Sudah lima tahun. Atau karena tanah kuburan Bapak yang tidak mendapat izin untuk dibeton dan hanya boleh didirikan batu nisan. Hal itu tidak akan membuat Ibu menangis. Aku sangat mengenal Ibu. Ibu paling tidak menyukai hal-hal yang berbau kemewahan. Ibu selalu ingin menginginkan kesederhanaan.

Kenapa Ibu menangis? Sayang aku sangat jarang pulang dan tidak bertemu Ibu

setiap hari. Hingga aku kurang mengetahui keadaan Ibu belakangan ini.

Mungkin ada suatu persoalan yang membebaninya....

Bertengkar dengan seseorang? Ah rasanya tidak. Setahuku Ibu tidak punya

musuh. Ia selalu mengalah setiap kali berbenturan dengan orang lain. Ibu

lebih banyak diam daripada mengomel. Tidak mungkin rasanya Ibu bertengkar

dengan orang lain, karena memang itu bukan kebiasaan Ibu. Tapi kenapa Ibu menangis? Ibu belum juga selesai berdzikir. Aku sudah selesai sejak lima menit lalu. Aku sudah berdoa, mohonkan ampun atas dosa Ibu dan Bapak yang telah mengasuhku sejak kecil. Ibu belum juga usai. Aku berdiri dan meninggalkan Ibu sendirian di ruang shalat dengan tetap

menyimpan pertanyaan, kenapa Ibu menangis? Kutunggu Ibu di

ruang makan. Bukankah Ibu selalu khusyuk dalam shalat? Kembali aku dibayang

berbagai kemungkinan. Bukankah Ibu tidak pernah lupa mendirikan shalat,

mengaji dan berdzikir? Bukankah Ibu paling senang mendengarkan ceramah di

masjid? Bukankah Ibu juga tidak melewatkan acara wirid? Bukankah Ibu

sudah cukup punya bekal untuk menghadapi segala cobaan...

Tapi kenapa Ibu sampai menangis? Karena aku mengimami Ibukah? Mustahil! Bukan sekali ini saja aku mengimami Ibu. Sudah berulang kali. Hampir setiap kali pulang ke rumah aku mengimami Ibu, terutama saat shalat maghrib dan isya. Ibu sudah berumur tujuhpuluh tahun lebih. Tujuh orang anak

merupakan berkah yang selalu disyukurinya dan kami semua kini sudah

besar. Aku yang bungsu sudah duduk di perguruan tinggi. Aneh rasanya kalau Ibu masih bersedih hati diusianya yang senja ini. Seharusnya Ibu banyak

tertawa dan bercanda bersama cucu-cucunya. Bukankah cucu-cucunya selalu

bersamanya setiap hari? "Sudah makan Yung?" tanya Ibu mengagetkanku. Ibu muncul dengan senyum mengembang. Tak kulihat bekas tangisan di wajahnya. Mungkin sudah dihapus.

"Belum Bu, Ayung menunggu Ibu."

"Ibu sudah makan."

"Kapan? Bukankah hidangan ini belum disentuh siapapun? Ayolah

Bu, Ayung sudah rindu ingin makan bersama Ibu."

"Makanlah!" kata Ibu sambil menarik kursi. Aku pun mulai

menyanduk nasi dan mengambil beberapa sendok sambal. Tapi Ibu tetap saja

tidak makan nasi. Ia hanya mengambil panganan dan memakannya."Bagaimana

kuliahmu?"

"Alhamdulillah Bu, berkat doa Ibu."

"Belanja harianmu bagaimana?" pertanyaan yang tidak pernah

kuinginkan ini selalu meluncur dari bibir Ibu. Pertanyaan itu kurasakan bagai keluhan dalam hidup. Kuakui selama kuliah aku harus berusaha dan

bekerja keras untuk memenuhi kebutuhanku sehari-hari. Uang kost, transport

dan kebutuhan kuliah. Memang, yang namanya usaha kadang-kadang dapat, kadang

tidak. Ketika dapat alhamdulillah. Aku bisa makan dan membeli kebutuhan

lain. Jika tidak, maka mau tidak mau aku harus puasa. Hal ini

yang sering aku alami. Tapi persoalan ini tidak pernah kuceritakan kepada

siapapun, termasuk Ibu dan saudara-saudaraku. Aku takut terlalu banyak

mengeluh.

"Alhamdulillah, Tuhan masih memberikan rejeki Bu," selalu kujawab begitu. Biasanya Ibu tidak akan bertanya lagi setelah itu. "Bu!" sapaku ketika Ibu terdiam. "Mmm," jawab Ibu. "Kenapa seusai shalat tadi Ibu menangis?" Ibu terdiam mendengar pertanyaanku. "Ayung cemas melihat Ibu menangis. Ibu masih diam. Aku menyelesaikan suapanku, setelah itu membasuh tangan dan melapnya dengan serbet. Ibu masih diam, tapi di matanya kulihat airmata mulai berlinang. Setelah itu berceritalah Ibu. Seminggu yang lalu di surau Balenggek tempat Ibu selalu sembahyang berjama'ah, ada ceramah agama mingguan. Ketika itu penceramahnya datang dari luar daerah. Ibu mengikuti ceramah tentang anak yang berbakti kepada orang tua dan anak yang shalih..

"Anak-anak yang shalihlah yang menyelamatkan orang tuanya dari api

neraka, karena doa anak yang shalih sangat didengar oleh Allah swt," kata

ustad. " Tapi sebaliknya orang tua tidak selamat dari api neraka jika

anak yang dididiknya tidak mampu menjalankan ibadah dan tidak pandai

membaca Alquran.

"Walaupun orang tuanya sendiri taat beribadah?" tanya Ibu waktu

itu. "Ya, apa artinya kita taat tapi tidak membuat anak taat kepada

Tuhannya. Apalagi sampai tidak bisa sembahyang dan mengaji, anak yang

jauh dari perintah Allah dan mendekati laranganNya. Maka orang tuanya di

akhirat akan ditanya tentang anak-anaknya. Maka sia-sialah ketaatan

orang tua jika di akhirat nanti anak mengakui dirinya tidak dididik oleh

orang tuanya untuk taat beribadah. Tidak pernah menegur, memukul bahkan

menamparnya, jika lalai menjalankan perintah agama." Ketika itu Ibu menyadari apa yang sudah dilakukannya selama

ini. Ibu ingat Jai, Jou, Han dan Fai. Saat itulah Ibu merasa hidup dan

ketaatannya selama ini tak berarti sama sekali. Sejak itu Ibu banyak diam dan melamun. Anak-anaknya sampai sekarang tidak pernah membaca Alquran di

rumah dan jarang sembahyang, bahkan tidak pernah sama sekali. Ibu merasa

bersalah setelah mendengar ceramah itu. Ibu menyadari bahwa ia tidak

mendidik anak-anaknya sesuai ajaran agama. Ibu selalu tidak tega

memarahi anaknya, dan melihat anaknya menangis, apalagi kalau ada yang murung dan kesal.

Mungkin itulah sebabnya anak-anak Ibu banyak yang tidak dapat

membaca Alquran Ibu tidak pernah tega memaksa mereka untuk belajar

Ibupun tidak marah. Bukankah ini berarti Ibu tidak sanggup mendidik anak.

Bukankah Ibu gagal menjadi orang tua? "Tapi Bu, bukankah Ayung selalu taat sembahyang dan membaca Alquran? Dan Ayung selalu berdoa untuk Ibu dan Bapak? Lantas apa artinya usaha Ayung selama ini Bu?" kataku kepada Ibu.

"Terima kasih Yung, Ibu sangat bangga padamu. Ibu senang kamu

mampu menjadi imam untuk Ibu. Ibu pun selalu berdoa untukmu. Yang Ibu

pikirkan adalah kakak-kakakmu yang tidak mampu membaca Alquran dan

tidak menjalankan shalat."

Kuakui selama ini memang hanya aku dan ibu yang shalat berjama'ah, walaupun sebenarnya kakak-kakakmu sedang berada di ruamh. Mereka lebih

suka duduk di lapau dan sepertinya tidak menghiraukan panggilan

azan yang berkumandang dari masjid. Dan Ibu tidak pernah menegur hal

itu. Aku pun tidak pernah mempersoalkan mereka. Sementara aku merasa takut,

selain karena lebih kecil juga karena aku takut mencampuri urusan mereka.

"Itulah Yung. Ibu merasa sedih. Kamulah satu-satunya anak Ibu yang

taat, yang mengimami Ibu, walaupun kamu yang terkecil. Entahlah.. Ibu

sudah semakin tua, ajal sudah di ambang pintu. Ternyata Ibu masih

meninggalkan banyak pekerjaan yang tidak selesai, ternyata Ibu tidak mampu

mendidik kalian dan kalian ternyata tidak bisa mendidik diri sendiri,"

kata Ibu terisak.

Air mataku mengalir tanpa terasa. "Ada apa? Kok Ibu menangis? Ini pasti ulah kamu Yung! Kamu tidak henti-hentinya membuat Ibu sedih, dan menangis. Tahukah kamu bahwa membuat orang tua bersedih hatinya itu dosa?" Tiba-tiba Han kakakku yang nomor tiga datang dan memarahiku. "Sebagai anak laki-laki kamu jangan terus-terusan bersama Ibu, itu cengeng namanya. Lihat tuh di lepau orang-orang ramai. Duduklah di sana biar orang tahu bahwa kita bermasyarakat. Bukan dalam rumah," katanya lagi sambil menekan kepalaku.

"Jangan kasar begitu pada adikmu Han. Ia kan baru sele...,"

"Kalau tidak seperti itu, ia akan lembek seperti perempuan Bu,

yang duduknya cuma di dapur." "Tapi ia kan masih kuliah." "Aah. Ibu selalu membelanya, mentang-mentang ia kuliah. Walaupun

Han tidak pernah kuliah, Han ini anak Ibu. Sekurang ajar apapun aku yang

melahirkan Han adalah Ibu. Tapi kenapa dia, Ibu perlakukan berbeda dengan

Han?" Han menunjuk-nunjuk diriku. Mendapat serangan kata-kata seperti itu, Ibu menangis lagi. Aku hanya terdiam terpana ketika Han kemudian berlalu dan tidak menghiraukan tangis Ibu. Air mata Ibu mengalir lagi. Ingin aku menghapusnya, tapi bagamana dengan kesedihannya? Allahummaghfirli waliwalidayya warhamhuma, kamarabbayana saghiraa. Amin. Hanya itu yang mampu kulakukan.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"tak ada gading yang tak retak"